Sabtu, 02 Oktober 2021

 

Bunda Maria dan Santo Yusuf , doakanlah kami


 


Upaya Keuskupan Agung Jakarta (KAJ)   untuk menjadi Gerakan dan Persekutuan umat Allah yang semakin mengasihi , semakin peduli dan semakin bersaksi  adalah mimpi yang harus diwujudkan sekaligus perjuangan terus menerus. Dalam perjalanan mewujudkan mimpi itu  umat KAJ  menyadari  keterbatasannya sebagai manusia seraya memohon  rahmat Allah agar dapat melakukan pertobatan dan mampu  mencapai  kepenuhan hidup kristiani dan kesempurnaan kasih.  Berdasarkan iman akan Allah yang menyelenggarakan hidup umatNya, Bapa yang berbelaskasih dan murah hati, umat KAJ bertekad untuk selalu giat melakukan pekerjaan pekerjaan Allah melaksanakan kehendak Allah sebagaimana diteladani oleh Bunda Maria dan Santo Yusuf.

Bunda Maria  adalah  Bunda umat beriman,  sebab ia memberikan hidupnya terjadi sesuai dengan kehendak Tuhan, “sesungguhnya aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanMu itu” (Luk 1 :38). Ia juga  telah mendahului kita  dan meneladani kita
dalam hal taat pada perintah Tuhan, lebih-lebih pada masa-masa sekarang ini yang sulit tapi penuh harapan (Evangeli Nuntiandi, 82)  .

Sebagaimana Santo Yusuf, Pelindung Gereja Katolik, segera melaksanakan apa yang diperoleh dalam mimpi, demikian pula Umat KAJ mengikuti teladan ketulusan hati dan kebajikan-kebajikan santo Yusuf “yang tampaknya tersembunyi namun memiliki peran tak tertandingi dalam sejarah keselamatan” (Surat Apostolik Patris Corde).

Semoga  Bunda Maria membantu kita mewartakan pesan keselamatan kepada semua orang dan memampukan kita menjadi para pewarta iman yang giat (Evangelii Gaudium, 287), sebagaimana  ia telah mendahului kita dalam hal melaksanakan perintah Tuhan untuk mewartakan Kristus melalui teladan hidupnya. Semoga Santo Yusuf membimbing kita untuk “memperoleh rahmat, belaskasih dan keberanian serta melindungi kita dari yang jahat”  (Surat Apostolik Patris Corde) agar bersama  para kudus kita memelihara gairah, semangat dan sukacita dalam melakukan evangelisasi dengan penuh kegembiraan.

Minggu, 13 Maret 2011

Saat mencari





Saat kumengingat indahnya kehidupan manusia, segera kuingat seseorang, seorang penabur kebijaksanaan. Kuingat lagi dalam benakku suatu puisi yang menyentuh kalbu:









Tebarkanlah, semaikanlah: yang terpenting adalah menaburkan, menyemaikan, entah sedikit ataupun banyak , taburkanlan, semaikanlah, benih pengharapan. Tebarkanlah senyummu, sebab hal itu akan mencerahkan segala yang ada di sekitarmu. Semaikanlah tenagamu untuk menghadapi pertempuran dalam hidup. Taburkanlah keberanianmu demi membangkitkan semangat dalam diri orang-orang di sekitarmu. Semaikanlah semangatmu, imanmu, cintamu. Semaikanlah itu semua, biarpun sedikit, bahkan biarpun nampaknya tak berguna, taburkanlah. Tebarkanlah fantasi dan hendaklah kamu mempunyai keyakinan, sebab setiap biji akan memberikan hasil bagi setiap sudut terpencil di dunia.





Kuingat ketika saya remaja, saat saya mencari dan menemukan arah hidup, kuharus berada di luar gerbang supaya mendapatkannya, karena tiada seorangpun berkenan masuk dalam taman yang misterius, di mana pepohonan dan semak belukar membentuk belantara yang tak dapat dimasuki. Cahaya matahari terhalang dan hampir tak dapat menembus rimbunnya dedaunan hijau, terutama pada musim semi.



Seringkali aku hanya bisa menanti di depan pintu gerbang tanpa melihat adanya mahkluk hidup di sana. Pada saat aku tenggelam dalam bacaan, dan tak ingin diganggu, aku terus menerus membenamkan diriku pada buku buku pengetahuan yang merupakan kekayaan yang kumiliki. Bagaimanapu juga membaca adalah makanan sehari hariku, sarana yang dapat membawaku pergi jauh dan mengetahui perihal bangsa-bangsa dan masyarakat dalam kehidupan pribadinya, yang mungkin saja takkan pernah kujumpai.

Suatu malam saya duduk di sebuah batu di dekat pintu gerbang. Saat itu gelap, awan tebal kemerahan bergerak lambat di cakrawala, di antara pohon-pohon pinus yang menghalangi berkas cahaya, semuanya itu melengkapi suasana musim semi. Angin berhembus membawa aroma bunga bunga, sementara burung-burung camar beterbangan di atas laut dan terdengar nyanyian burung-burung bulbul yang menyusup di antara hutan pinus lalu hinggap di antara dedaunan pohon ek. Pucuk-pucuk pohon cemara bergoyang perlahan, terdengar lirih suara dari deburan ombak laut dan dari mesin setiap kapal yang bergerak menjauh.

Jumat, 03 April 2009

Bisakah hidup dalam damai dengan sesama?


Dori pergi ke tukang cukur langganannya. Baru saja Dori duduk untuk bersiap dicukur rambut di kepalanya, si Tukang cukur berseru ,”sepertinya belum sebulan bapak cukur, kok sekarang cukur lagi sih pak?”
“Ah pengin kurangi dikit aja sih”,begitu sahut Dori.
“Tapi rambutnya khan belum panjang pak”. “ Yah, biar rapi to”, kata Dori lagi.
Tukang cukuritu melanjutkan pembicaraannya, “memangnya mau kemana pak”.
“Saya mau pergi wisata ke Roma”, jawab Dori enteng.
Tukang cukur itu menyahut,”ah lebih bagus wisata ke Amsterdam Belanda, lebih asyik di sana. Bapak akan naik apa nanti?”
“Naik Malaysia Airlines”.
Tukang cukur itu mengkritik,”Malaysia Airlines kurang bagus pak, lebih bagus pakai KLM, pelayanan lebih baik, pramugarinya juga cantik-cantik”
Dori diam saja dikritik seperti itu.
Tukang cukur itu bertanya lagi,”nanti di Roma bapak mau ketemu siapa?”
“Saya mau ketemu beberapa teman, orang-orang Indonesia yang di sana, dan siapa tahu bisa juga bertemu Paus Benediktus”, sahut Dori penuh semangat.
Maka dengan nada tinggi Tukang cukur itu berkata,”Ngaca dong pak, bapak itu siapa? Paus itu siapa? Mana mungkin orang seperti bapak dapat berjumpa Paus, sadar dong pak!
“Yah namanya juga siapa tahu, semoga saja toh”, jawab Dori ngga mau kalah.
“Iya siih, tapi jangan muluk-muluk dong, terlalu tinggi impiannya pak”, bantah si tukang cukur.
“Ah sudahlah, sudah, selesaikan saja cukurnya” kata Dori yang males melayani omongan si tukang cukur.
Selesai potong rambut Dori segera pulang.
Sebulan kemudian Dori pergi ke tukang cukur langganannya itu.
Tukang cukur itu segera menyambutnya dan bertanya “apakabar pak, bagaimana wisatanya , bagus?”
“Bagus sekali dan menyenangkan. Bahkan saya sempat berjumpa Paus” kata Dori
“Oh ya?, Ah yang bener pak”, kata si tukang cukur, setengah tidak percaya.
“Eh bener dong, tidak ketemu dalam jarak yang jauh, tapi saya malah semper bertatap muka, juga bersalaman dengan beliau”, kata Dori membanggakan diri.
“oh ya?”, seru tukang cukur itu. “Iya, saya juga sempat mencium tangannya,” kata Dori dengan tegas, “dan ketika saya mencium tangan kanannya, tangan kiri beliau memegang kepala saya dan mengelus rambutku”.
“Lalu lalu beliau berkata apa? Tanya tukang cukur itu penuh harap.
Dori menjawab “beliau, berkata ‘kamu potong rambut di mana? Jelek bangettt gini”.
Tukang cukur itu jadi asemmm banget dan tidak omong apa-apa lagi.

Rasa sakit hati terbentuk ketika ada respon negatif yang diterima. Respon negatif atau kritik yang merendahkan membuat seseorang tidak hanya sakit hati tetapi juga menyimpan dendam. Dendam itu bisa tertanam dalam diri dan bertahan disana cukup lama, hingga saatnya meletup dan muncul dalam bentuk balas dendam.
Saling menyakiti, saling membalas dendam merupakan bahan bakar yang paling efektif untuk merusak suasana damai, untuk memmulai suatu peperangan dan melanjutkan peperangan.
Lalu apa yang harus dilakukan agar terwujud kembali perdamaian, tercipta kembali rasa damai? Simpel saja buatlah senyum yang manis, dan ajaklah orang-orang disekitar anda juga tersenyum.
Buatlah agar anda dapat hadir bersama orang lain dalam suasana gembira, bahagia. Di situ perdamaian akan tercipta. Maka baiklah jika kita berani memberikan respon positif kepada sesama/ saudara kita, dukungan atau pertimbangan positif pada rencana atau apa yang dipikirkan oleh sesama kita, serta memberikan apresiasi kepada apa yang sedang dilakukan sesama kita.
Cara itu tidak saja membangun suasana damai tetapi juga memperkembangkan hidup dalam persaudaraan dengan semua orang. Semoga.

Rm. Y. Agung Setiadi

Sudahkah kita menanggapi panggilan Tuhan Yesus?


Mungkin kita mudah beranggapan bahwa karena kita telah mengenal dan mengikuti Yesus, otomatis kita adalah orang yang benar sedangkan orang lain di sekitar kita yang belum mengenal Yesus adalah orang berdosa. Namun hendaknya kita ingat bahwa Yesus datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang yang berdosa supaya mereka bertobat.

Ini tidak berarti bahwa Yesus tidak peduli pada mereka yang benar dan hanya peduli pada mereka yang berdosa. Yesus memanggil orang berdosa supaya bertobat dan menjadi orang benar. Itulah yang diharapkanNya terjadi dalam diri semua orang. Maka yang sudah benar dipanggil untuk bertahan dalam kebenaran dan menjadi semakin setia dalam kebenaran. Namun dalam kenyataan kita sering kali terkurung dalam dosa, dan sering melakukan dosa walaupun kita selalu mendengarkan Yesus dan dekat padaNya. Kita semua memang sedang berjuang untuk menjadi orang-orang yang benar.

Dosa tentu dapat memasuki siapa saja yang masih hidup diatas bumi ini. Sekalipun mereka beragama atau menjadi murid Yesus dan mengaku orang yang benar, hidup mereka dapat saja masih dikuasai dosa. Kitapun sebagai orang yang sudah berusaha setia mengikuti Yesus sebagai muridNya, tidaklah bersih dari dosa. Karena itu, marilah kita sebagai sesama manusia yang lemah dan berdosa, kita tanggapi panggilan Tuhan Yesus, mengikuti Dia, agar kita dibenarkan oleh kuasa kasihNya dan bukan oleh perasaan dan pikiran kita.

Bagaimanakah caranya? Coba deh, simak pembicaraan dua anak Sekolah Minggu yang sedang bercakap-cakap ini:
Samuel : "Coba terka, orang seperti apa yang paling banyak masuk neraka, apakah pencuri, pembunuh atau orang pelit?"
Natanael: "Tentu saja pencuri dan pembunuh! Karena yang satu mengambil harta orang sedangkan yang lain mengambil nyawa orang."
Samuel : "Kata papa-ku, orang pelit adalah yang paling banyak masuk neraka!"
Natanael: "Ach, masa iya ... ??? Apa dosanya? Khan itu hartanya sendiri, suka-suka donk!"
Samuel : "Nah, itulah...! Saking pelitnya maka ketika Tuhan Yesus mau minta dosanya untuk dibuang ke tubir laut yang paling dalam,dia nggak ngasih!"

Nah, perhatikanlah saudara-saudariku, apakah kita masih pelit untuk memberikan dosa kita pada Yesus agar dijadikan bersih dari dosa? Relakah kita mengakukan dosa-dosa kita dalam sakramen tobat? Yakinlah Tuhan Yesus tidak pernah menghukum. Tuhan Yesus sayang pada kita. DIA ingin agar kita selalu berada dalam rumahNya dan terbebas dari dosa.

Rm Y. Agung Setiadi

Kamis, 18 Desember 2008

Rilevanza della concelebrazione


Rilevanza della concelebrazione
alla partecipazione la chiesa intera nel’eucaristia


Riguardo alla storia delle concelebrazione abbiamo trovato due forme principali di concelebrazione: ‘silenziosa’ e ‘parlata’. Nei primi secoli del cristianismo non c’era concelebrazione parlata. A questo’epoca riservava concelebrazione ‘mediante gesti colletivi ‘ e ‘silenziosa’ o ‘implicita’. Soltanto il vescovo recita la preghiera eucaristica, mentre i sacerdoti in silenzio, stendono tutte le mani. Quindi i concelebranti non recitano insieme la preghiera eucaristica (Traditio Apostolica cap. 4, Didascalia Apostolorum). Nei secoli seguente piano-piano il rito poi è transformato per il fatto che tutti recitano assieme le parole del canone fissate definitivamente. Dalla concelebrazione ‘silenziosa’ siamo passati alla concelebrazione ‘parlata’, da una concelebrazione ‘gerarcchizata’ ad una concelebrazione quasi ‘sincronizzata’. Tutti i celebranti pronuncino assieme le parole consacratore. Questa viene detta concelebrazione ‘parlata’, ‘formulata’, o ‘esplicita’.


Il movimento liturgico, cominciato all’inizio del secolo XX, favorì la presa di coscienza riguardo alla concelebrazione; cominciarono gli studi storici e teologici che ravvivarono l’interesse alimentando ovunque il desiderio di una sua ripresa. In questo itinerario si collocano e hanno grande importanza gli interventi di Pio XII, il quale ha riproposto la concelebrazione dei vescovi nel conferimento dell’ordine episcopale e ha posto i princìpi dottrinali e disciplinari per la restituzione su vasta scala della concelebrazione eucaristica, prescrivendo che tutti i concelebranti, oltre a porre il gesto della imposizione delle mani, sull’eletto nell’ordinazione episcopale, sui doni nell’Eucaristia, pronuncino le parole della formula sacramentale.


Riguarda la prescrizione di Pio XII che tutti i concelebranti, sia del conferimento dell’ordine episcopale sia della consacrazione eucaristica, pronuncino insieme le parole della formula sacramentale, prescrizione entrata nella riforma liturgica; nel 1957 una risposta del sant’Ufficio ad un Dubium de valida concelebratione dichiarava che per consacrare validamente e per celebrare validamente la messa bisognava che ciascun celebrante pronunziasse le parole della consacrazione.


La prescrizione a tutti i concelebranti di pronunciare le parole consacratorie si comprende con la seguente riflessione: se appartiene alla natura significativa dei sacramenti che coloro i quali compiono un’azione sacramentale lo manifestino chiaramente, con i gesti e con le parole, sarebbe sorprendente che in un’epoca in cui ci si sforza non soltanto di far partecipare i fedeli all’Eucaristia, ma anche di offrire ad essi tutti i mezzi possibili perché manifestino esternamente tale partecipazione liturgica, si operasse poi, proprio per i ministri ordinati, una riduzione dei segni visibili della loro cooperazione in parità con l’azione del concelebrante principale che presiede l’azione liturgica.


Il movimento liturgica si era adoperato attivamente per riscoperta della dimensione comunitaria della concelebrazione liturgica. In questo contesto si era ridestato il ricordo ed erano stati fovoriti gli studi sulla concelebrazione eucaristia in vista di rivalutazione dell’aspetto comunitario e gerarchico della messa. Anche nel corso e dopo il Vaticano II il rito della concelebrazione era riproposto e ripristinato.


Il concilio ha affirmato chiaramente che è da preferirsi la concelebrazione comunitaria a quella induviduale e quasi privata. Ma l’uso della concelebrazione eucristica non per ragioni sentimentali o archeologiche, neppure per motivi puramente contigenti e particolari, ma per ragione teologiche e pastorali. (SC 57, 58)


Sul valore teologico della concelebrazione, il concilio ha inteso esprimere la triplice unità che deriva dall’essenza stessa della messa, ma viene maggiormente significata nella forma concelebrata dell’eucaristia. La concelebrazione è un atto collegiale del sacerdozio, in cui tutti i ministri convergono verso l’unico scacrificio che costruisce la comunità cristiana. Quindi la concelebrazione non petrebbe essere vista soltanto come segno del unita sacerdozio ministeriale, ma anche significa e realizza l’unita di tutto il popolo di Dio.


Sul valore pastorale, la concelebrazione ha certamente contribuito a migliorare la qualita delle celebrazione eucaristiche per aver messo in evidenza sopratutto le summenzionate tre unità: del sacerdozio, del sacrifocio e del popolo di Dio. La concelebrazione, infatti non è soltanto realizzazione dell unita interiore di una comunità o chiesa particolare: ma realizza anche la natura comunitaria della chiesa universale, in cui tutti le chiese hanno loro posto.


Comunque nel questo gesto è mostrato due aspetti importanti: il ruolo del celebrante pricipale e il ruolo della assemblea dei fedeli. La concelebrazione è un atto collegiale. La pluralita di sacerdoti non crea un pluralita di atti sacrificiali, perche i sacerdoti participanti non celebrano ognuno la ‘sua messa’, ma l’unica mistero della chiesa. I sacerdoti recitano insieme al celebrante principale soltanto l parte centrale della preghiera eucaristica ; ascoltano invece o recitano mentalmente le altre preghiere. Quindi con questo modo il nuovo rito ha ben delineato la figura del celebrante principale, cosicchè egli ha un’effetiva presidenza delle celebrazione.


Nel PNMR no 7, abbiamo trovato che il sacerdote ‘presiede’, l’intera comunita presieduta dal sacerdote che ‘celebra’. E in realta chi celebra è l’intera assemblea presieduta del sacerdote. Quindi l’assemblea dei fedeli non presentano come spettatore del spettacolo, ma partecipano attivamente come attore. La costituzione Liturgica ha formulato chiaramente il senso della partecipaczione attiva dei fedeli nei suoi teorici e practici ( SC 14, 30, 48, 50). Tutti i fedeli hanno un officio da compiere nella Liturgia, ed i vari uffici non uterferiscono gli uni con gli altri. Ogni fedele participa alla celebrazioni liturgiche nel modo lui proprio.( SC 28)


In fine può detto che la concelebrazione è una forma che interessa la totalita del azione sacramentale. Una concelebrazione riferita solamente alla confezione dei sacramenti tende a sottolineare l’elemento, certamente necessario del azzione sacerdotale, ma nel medessimo tempo offusca la parte propia del resto dell’assemblea, la quale tutta dubbio ha un ruolo insostituibile per una giusta comprensione del ministero eucaristico. L’eucaristia è l’azione cui participa la chiesa intera, in tutte le sue strutture.


by; Yustinus A. Setiadi

Bibliografia:
Ø AUGÉ, M., «Concelebrazione eucaristica», in Liturgia, ed. D. Sartore – A. M. Triacca – C. Cibien, Torino 2001, 428-438
Ø ————, «Concelebrazione eucaristica», in Nuovo dizionario di liturgia, ed. D. Sartore – A. M. Triacca, Torino 51993, 242-251
Ø NOCENT, A., «La concelebrazione», in Scientia Liturgica 3, ed. A. Chupungco, Casale Monferrato 1998, 307-316
Ø « La concelebrazione eucaristica» in Anàmnesis 3/2, Casale Monferrato 1983, 273 - 277

Sabtu, 11 Oktober 2008

K a s i h


K A S I H

oleh: Bunda Teresa


Suatu Malam, seorang laki-laki datang ke rumah kami dan berkata, “Ada keluarga dengan delapan anak yang sudah berhari-hari tidak makan.” Maka aku pergi membawakan makanan untuk mereka.
Ketika aku tiba di sana kulihat wajah anak-anak itu begitu menderita karena kelaparan.Tidak ada kepedihan atau kesedihan di wajah mereka, hanya derita yang dalam karena menahan lapar.
Kuberikan nasi yang kubawa pada sang ibu. Ia membagi nasi itu menjadi dua bagian, lalu keluar membawa setengahnya. Ketika ia kembali, kutanyakan kepadanya, “Kau pergi ke mana?” Ia memberiku jawaban sederhana ini, “Ke tetangga-tetanggaku. Mereka juga lapar.”
Aku tidak heran kalau ia membagi nasi itu dengan tetangga-tetangganya, sebab orang miskin biasanya justru sangat pemurah Tapi aku heran bahwa ia tahu mereka lapar. Biasanya kalau sedang menderita, kita begitu terfokus pada diri sendiri, sehingga tidak punya waktu untuk memikirkan orang lain. ( oleh; Bunda Teresa dari Calcuta)

Beriman mendalam di tengah kemajemukan.

Dunia masa kini adalah suatu yang majemuk. Dimanapun manusia berada di atas bumi ini, ia pasti hidup dalam kemajemukan, dalam kebersamaan dengan saudara- saudara yang berbeda agama, yang berbeda suku, yang berbeda faham politik dan lain sebagainya. Dalam situasi kondisi semacam ini, membangun dan mengembangkan tolerasi dalam kehidupan beragama adalah suatu keniscayaan. Benar bahwa agama itu sendiri tidak dapat ditoleransikan, sebab agama menyangkut dogma, ritus, ajaran dan hukum-hukum tertentu. Namun Itu bukan berarti manusia tidak dapat hidup berdampingan dengan damai bersama mereka yang berkeyakinan lain. Justru dalam kebersamaan yang majemuk, yang plural itulah setiap orang beriman dipanggil pula untuk mengembangkan toleransi dalam hidup beragama.

Langkah positif untuk menempuh dan menapaki jalan-jalan tolerasni dalam bidang keagamaan adalah dengan dengan sutau dialog. Ketika saya masih kuliah teologi di Jogja saya justru cukup sering ikut diskusi atau pertemuan-pertemuan dengan teman-teman muslim di kampus IAIN sunan kalijaga. Tak jarang saya malahan diminta oleh teman-teman mahasiswa itu untuk memberikan renungan dalam bulan Ramadan. Bersama mereka saya banyak membuat kegiatan sosial dan membentuk komunitas dialog antar agama.Saya tidak mengalami kesulitan dalam berbagi pengalaman rohani bersama mereka. Justru bersama teman-teman yang berbeda-beda agama, suku dan sebagainya, kami mengalami pengalaman-pengalaman yang unik dan indah sebagai orang beriman. Bagi saya kuncinya adalah pengalaman dicintai dan mencintai Allah dan sesama.

Pengalaman itu menyakinkan saya bahwa dialog antar umat beragama dan antar iman bukan sekedar suatu cara hidup bersama dengan umat beragama lain, melainkan suatu bagian pokok dan penting dari pengalaman rohani, yaitu pengalaman dicintai Allah dan sesama yang mendorong seseorang untuk mencintai Allah pula melampaui segala hal dan mencintai sesma sperti diri sendiri.

Karena itu syarat utama dan pertama membangun sikap toleransi dengan dialog adalah pemahaman satu sama lain, justru karena perbedaan-perbedaan yang ada. Memahami persepsi atau cara memandang yang digunakan sesama orang berdeda keyakinan adalah syarat pertama mengembangkan tolerasni dengan dialog. Dalam kerangka pikir iman kristiani disebut dengan misteri inkarnasi. Allah hendak membangun tolerasi dengan manusia melalui dialog. Satu-satunya cara adalah dengan memahami cara hidup manusia, cara berbahasa manusia, cara manusia memandang hidupnya. Maka Allah menjadi manusia dalam diri Yesus yang disebut Kristus.

Penglaman ini dapat saya bandingkan dengan penglaman saya saat di kampung di jawa tengah sana dan ikut serta memberi makan kambing. Untuk menyapa kambing saya harus menggunakan bahasa kambing. Saya pasti akan ditertawakan anak kecil kalau saya menyapa dan memanggil kambing dengan berteriak “Kambing! Kambing! Sini dong! Dengan cara ini, saya tidak pernah menyapa kambng, dan kambingpun cuek kepada saya. Lain halnya kalau saya menyapa dan memanggil kambing dengan bahasa kambing di kampung saya itu, yaitu dengan mengatakan “mbeek.. mbeekk..! Dengan cara ini serta merta kambing akan memalingkan wajahnya kepada saya, mungkin mengira saya temannya atau sejenis dengannya. Saya dapat berteman dengan dia dan membelainya serta memberinya makan dengan tenang. Hal sama kitanya juga berlaku kalau kita mau menyapa ayam atau kucing atau lainnya. Untuk menyapa ayam kita harus menggunakan bahasa ayam, yakni berteriak Kur .. kur ..kur..! Untuk menyapa kucing kita harus sedikit berbicara lembut Pus.. pus… pus.. Dengan cara ini kucing atau ayam akan mendekat dan mengenali kita.

Cara yang sama juga ditempuh oleh Allah dalam memanggil dan menyapa manusia. Untuk menyapa dan memanggil manusia Allah menggunakan cara manusia, menggunakan bahasa manusia. Demikian pula dengan tolerasi melalui dialog. Langkah ini hanya akan berdaya guna jika antar umat manusia saling memahami bahasa satu sama lain! Dengan demikian sesama dipahami sebagai pribadi yang sama.

Dialog antar umat beragama akan berjalan baik kalau dialami sebagai hubungan antar personal, hubungan mendalam antar pribadi. Sapaan-sapaan yang peribadi membuat seseorang tidak mampu mengelak dan menghindari. Sapaan-sapaan pribadi memungkinkan siakan saling terbuka dan bekerja sama dalam segala hal. Sapaan-sapaan yang prbadi mengangkat martabat manusia sebagai manusia, bukan sebagai barang atau benda-benda yang tidak berharga.

Maka membangun, mengusahakan terciptanya dialog dan toleransi antar manusia tidak lain adalah mewujudkan penghayatan iman yang lebih mendalam. Sebab penghayatan iman yang mendalam menyangkut dimensi sikap, ungkapan, dan perwujudan, entah secara batin, sosial maupun relasional. Dalam tataran perwujudan iman inilah toleransi dan dialog dapat dibangun. Dan perwujudan iman adalah titik temu dan ajang membangun kerja sama dengan membina persaudaraan sejati yang paling konkret.
agungstd

  Bunda Maria dan Santo Yusuf , doakanlah kami   Upaya Keuskupan Agung Jakarta (KAJ)     untuk menjadi Gerakan dan Persekutuan umat Alla...